Kamis, 20 Februari 2014

Makna Sebuah Valentine

Meluruskan Makna Valentine Saat Ini
(14 Februari) bagi sebagian orang adalah peringatan Hari Kasih Sayang atau Valentine's Day. Aku secara emosional tidak merasa dekat dengan Hari Kasih Sayang ini atau tidak pernah merayakan. Alasannya sederhana saja, tidak merasa cocok dengan budaya ini.

Tetapi menonton berita di televisi, beberapa demonstrasi penolakan Valentine's Day oleh beberapa kelompok di beberapa kota, membuat aku ingin meluruskan pemaknaan Hari Kasih Sayang ini. Demonstrasi ini mulai dari anak-anak SD sampai mahasiswa. Terakhir adalah yang terjadi kemarin di Tasikmalaya. Hal yang membikin resah aku adalah dasar penolakan yang salah kaprah. Entah ini keliru di tingkat kelompok-kelompok itu atau narasi penyiar TV yang salah tangkap. Dalam setiap berita, dasar penolakan Valentine's Day ini karena Hari Kasih Sayang ini meracuni generasi muda Indonesia dengan mengajak untuk berbuat maksiat. Wadooh....

Di sini ada pergeseran makna negatif yang kebablasan soal bagaimana merayakan Hari Kasih Sayang. Bagi yang berdemo menolak, hal ini tidak ada masalah. Adalah hak mereka untuk menolak perayaan ini. Sah-sah saja, karena ini bagian dari demokrasi budaya popular, boleh mengikuti boleh tidak. Tetapi menggeser makna dengan menuduh Valentine's Day sekedar ajang berbuat maksiat, justru menjadi kampanye yang bisa jadi salah tangkap bagi generasi muda. Bagi ababil (ABG labil) , bisa jadi pemaknaan yang salah tentang Valentine, membuat mereka lalu berpikir bahwa memang begitulah tradisi (dengan melakukan seks bebas seperti yang disuarakan mereka yang menolak) dalam merayakan Valentine.

Padahal kalau kita sedikit mau googling di internet, makna Valentine's Day tidak demikian. Ini tradisi dari Barat, untuk mengungkapkan / mengekspresikan kasih sayang pada orang-orang yang kita cintai - tentu ini bukan monopoli pada pasangan, tetapi juga ke kakak adik, ayah ibu, dstnya. Dan pada prakteknya di Indonesia, jauh lebih banyak yang melakukan dengan positif, seperti mengucapkan selamat, memberi kado kepada saudara atau orang tua. Memang yang sering diangkat di berita adalah kejadian negatifnya saja, misalnya banyak pasangan belum nikah di losmen/hotel dsbnya. Tetapi kejadian yang umum (dan jauh lebih banyak dari pada yang menyimpang) adalah orang memberi ucapan selamat atau kado ke keluarga, pacar, teman.

Seandainya kelompok-kelompok yang menolak Valentine's Day tersebut lebih cerdas dalam dasar pertimbangannya, mungkin akan lebih positif dampaknya. Misalnya menolak Valentine Day, karena ini budaya dari Barat, menolak karena ini komersialisasi ungkapan kasih sayang, atau alasan-alasan lain yang lebih tepat. Justru dengan menolak Valentine's Day dengan pemahaman yang salah, malah menjadi promosi gratis yang maksiat-maksiat itu.

Lain Tempat, Beda Waktu, Makna Berbeda

Dalam banyak tulisan, Valentine's Day ini memang dalam sejarahnya berasal dari peringatan Santo Valentinus (santo = orang yang dianggap suci) dalam agama Katolik. Namun santo ini tidak menempati posisi penting dalam tradisi agama Katolik (bahkan orang suci/santo ini tidak ada di dalam tradisi agama Kristen Protestan).

Tetapi apakah sekarang, masih berbau keagamaan? Sudah tidak sama sekali. Kisah santo Valentinus pada perjalanan waktu, lalu dipinjam oleh budaya masyarakat Amerika , bergeser makna menjadi hari khusus untuk mengungkapkan kasih sayang. Pergeseran makna ini (dari peringatan orang suci agama menjadi budaya masyarakat) dapat dimengerti, mengingat situasi masyarakat Barat yang modern, industrialisasi, waktu banyak habis untuk bekerja. Maka perlu ada hari khusus untuk mengingatkan bahwa kita masih punya orang-orang tercinta.

Pada perjalanan waktu, maknanya pun mulai bergeser. Valentine menjadi hari komersialiasi, di mana masyarakat Barat pun mesti membelanjakan sesuatu untuk memperingati Hari Kasih Sayang ini. Makna inilah yang diimpor ke Indonesia pada akhir dekade 80-an, ketika Valentine Day mulai populer di sini. Sehingga banyak anak muda mudah menyerap tradisi ini, karena memang Valentine's Day sudah tidak ada lagi tradisi agama tertentu atau budaya masyarakat tertentu (bandingkan dengan Father's Day yang sangat lokal Amerika dan tidak populer di Indonesia). Murni komersialisasi yang mudah diserap oleh siapa saja.

Hal di atas menunjukkan bahwa sebuah tradisi bisa bergeser makna menyesuaikan perjalanan waktu maupun tempat. Lain dulu, lain sekarang. Beda di sana, beda di sini. Namun sebaiknya makna Valentine dikembalikan lagi ke makna yang lebih manusiawi dan universal yaitu Hari Kasih Sayang antar manusia, lepas dari komersialisasi dan jangan dibelokkan atau disalahpahami sebagai hari bebas berbuat maksiat. Kalau kemudian, ada yang merasa tidak cocok dan ada yang cocok, silakan selera masing-masing.

MAKNA VALENTINE SEBENARNYA

Valentine merupakan hari kasih sayang dimana setiap orang berhak memperoleh sebuah kasih sayang.Oleh karena itu Valentine day adalah hari yang tepat untuk kita merayakan hari kasih sayang tersebut.Hari Kasih Sayang atau Valentine Day biasanya di rayakan pada 14 Februari.

Jika kita bicara masalah Kasih Sayang, pasti yang terlintas dalam pikiran kita ini adalah Kasih Sayang antara seorang cowok dan cewek yang identik dengan pacaran, padahal jika kita tela'ah lebih dalam sebenarnya Makna dari Valentine Day bukan hanya dengan pacar kita yang biasanya dirayakan dengan bunga dan cokelat, namun juga terhadap orang tua kita, sahabat kita, saudara kita, guru dan dosen kita, serta orang-orang yang terdapat di sekitar kita.

Namun karena sekarang "MUNGKIN" hampir dari semua pikiran dan otak (khususnya anak muda/remaja) pasti memiliki pikiran bahwa Valentine Day mesti dirayakan dengan pacar tersayang di pojok-pojok taman-taman kota, akibatnya banyak taman2 kota penuh dengan muda-mudi yang aku sendiri gak tau lagi ngapain mereka. Hehehehe....

Dan bagi yang gak punya pacar pasti akan memiliki pikiran "SEDIH" karena gak ada orang yang bisa diajak untuk merayakan Hari Kasih Sayang ini di "Pojokan taman". Padahal sebenarnya jika kita mau lebih berbagi kasih sayang dengan orang2 terdekat kita, efek yang didapatkan dari Valentine Day ini jauh lebih besar dari pada hanya "MOJOK".

Anak-anak muda sekarang begitu bersemangat untuk merayakan Valentine Day dengan cara yang "EKSTREM" bersama pasangannya. Kenapa ya?? padahal jika kita mau, setiap hari bahkan setiap detik kita bisa melakuan Hal gituan. Gak harus di Valentine Day (biar gak merusak Hari Kasih Sayang itu).

Aku sebagai Penganut Kebebasan gak mau ambil pusing dengan hal itu, yang penting kita tahu mana yang baik dan mana yang gak baik dan yang penting tahu mana yang harus disayangi dan mana yang gak. Oke...

Makna Valentine Dalam Pandangan Islam
Di dalam Islam tidak ada valentine, sebab kata valentine itu merupakan istilah impor dari agama di luar Islam. Bahkan latar belakang sejarah dan esensinya pun tidak sejalan dengan Islam.

Namun kalau yang anda inginkan adalah perwujudan rasa kasih sayang menurut syariah Islam, tentu saja Islam merupakan ‘gudang’ nya kasih sayang. Tidak sebatas pada orang-orang terkasih saja, bahkan kasih sayang kepada semua orang. Bahkan hewan pun termasuk yang mendapatkan kasih sayang.

Cinta kepada Kekasih

Kasih sayang kepada orang terkasih pun ada di dalam Islam, bahkan menyayangi pasangan kita dinilai sebagai ibadah. Ketika seorang wanita memberikan seluruh cintanya kepada laki-laki yang dicintainya, maka Allah pun mencurahkan kasih sayang-Nya kepada wanita itu. Hal yang sama berlaku sebaliknya.

Namun kasih sayang antara dua insan di dalam Islam hanya terjadi dan dibenarkan dalam ikatan yang kuat. Di mana laki-laki telah berjanji di depan 2 orang saksi. Janji itu bukan diucapkan kepada si wanita semata, melainkan juga kepada orang yang palingbertanggung-jawab atas diri wanita itu, yaitu sang ayah. Ikatan ini telah menjadikan pasangan laki dan wanita ini sebagai sebuah keluarga. Sebuah ikatan suami istri.

Adapun bila belum ada ikatan, maka akan sia-sia sajalah curahan rasa kasih sayang itu. Sebab salah satu pihak atau malah dua-duanya sangat punya kemungkinan besar untuk mengkhianati cinta mereka. Pasangan mesra di luar nikah tidak lain hanyalah cinta sesaat, bahkan bukan cinta melainkan birahi dan libido semata, namun berkedok kata cinta.

Dan Islam tidak kenal cinta di luar nikah, karena esensinya hanya cinta palsu, cinta yang tidak terkait dengan konsekuensi dan tanggung-jawab, cinta murahan dan -sejujurnya- tidak berhak menyandang kata cinta.

Cinta kepada Sesama

Di luar cinta kepada pasangan hidup, sesungguhnya masih banyak bentuk kasih sayang Islam kepada sesama manusia. Antara lain bahwa Islam melarang manusia saling berbunuhan, menyakiti orang lain, bergunjing, mengadu domba atau pun sekedar mengambil harta orang lain dengan cara yang batil.

Bandingkan dengan peradaban barat yang sampai hari duduk di kursi terdepat sebagai jagal yang telah membunuh berjuta nyawa manusia. Bukankah suku Indian di benua Amerika nyaris punah ditembaki hidup-hidup? Bukankah suku Aborigin di benua Australia pun sama nasibnya?

Membunuh satu nyawa di dalam Islam sama saja membunuh semua manusia. Bandingkan dengan jutaan nyawa melayang akibat perang dunia I dan II. Silahkan hitung sendiri berapa nyawa manusia melayang begitu saja akibat ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki?

Silahkan buka lembaran sejarah, siapakah yang dengan bangga bercerita kepada anak cucunya bahwa nenek moyang mereka berhasil membanjiri masjid Al-Aqsha dengan genangan darah muslimin, sehingga banjir darah di masjid itu sebatas lutut kuda?

Di awal tahun 90-an, kita masih ingat bagaimana Serbia telah menyembelih umat Islam di Bosnia, anak-anak mati ditembaki. Bahkan janin bayi di dalam perut ibunya dikeluarkan dengan paksa dan dijadikan bola tendang. Bayangkan, kebiadaban apa lagi yang bisa menandinginya?

Sesungguhnya peradaban barat itu bertqanggung jawab atas semua ini. Tangan mereka kotor dengan darah manusia, korban nafsu angkara murka.

Kasih sayang yang sesungguhnya hanya ada di dalam Islam. Sebuah agama yang terbukti secara pasti telah berhasil menjamin keamanan Palestina selama 14 abad lamanya. Di mana tiga agama besar dunia bisa hidup akur, rukun dan damai. Palestina baru kembali ke pergolakannya justru setelah kaum yahudi menjajahnya di tahun 1948.

Bahkan gereja Eropa di masa kegelapan (Dark Ages) pun tidak bisa melepaskan diri dari cipratan darah manusia, ketika mereka mengeksekusi para ilmuwan yang dianggap menentang doktrin gereja. Tanyakan kepadaGalileo Galilei, juga kepada Copernicus, apa yang dilakukan geraja kepada mereka? Apa yang menyebabkan kematian mereka? Atas dosa apa keduanya harus dieksekusi? Keduanya mati lantaran mengungkapkan kebenaran ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu pengetahuandianggap tidak sesuai dengan kebohongan gereja.

Kalau kepada ilmuwan gereja merasa berhak untuk membunuhnya, apatah lagi dengan orang kebanyakan. Lihatlah bagaimana pemuda Eropa dikerahkan untuk sebuah perang sia-sia ke negeri Islam, perang salib. Lihatlah bagaimana nyawa para pemuda itu mati konyol, karena dibohongi untuk mendapatkan surat pengampunan dosa, bila mau merebut Al-Aqsha.

Sejarah kedua agama itu, berikut sejarah Eropa di masa lalu kelam dan bau anyir darah. Sejarah hitam nan legam…

Bandingkan dengan sejarah Islam, di mana anak-anak bermain dengan bebas di taman-taman kota, meski orang tua mereka lain agama. Bandingkan dengan sejarah perluasan masjid di Mesir yang tidak berdaya lantaran tetangga masjid yang bukan muslim keberatan tanahnya digusur. Bandingkan dengan pengembalian uang jizyah kepada pemeluk agama Nasrani oleh panglima Abu Ubaidah Ibnul Jarah, lantaran merasa tidak sanggup menjamin keamanan negeri.

Siapakah yang menampung pengungsi Yahudi ketika diusir dari Spanyol oleh rejim Kristen? Tidak ada satu pun negara yang mau menampung pelarian Yahudi saat itu, kecuali khilafah Turki Utsmani. Sebab meski tidak seagama, Islam selalu memandang pemeluk agama lain sebagai manusia juga. Mereka harus dilindungi, diberi hak-haknya, diberi makan, pakaian dan tempat tinggal layak. Syaratnya hanya satu, jangan perangi umat Islam. Dan itu adalah syarat yang teramat mudah.

Maka kalau kita bicara cinta dan kasih sayang, Islam lah bukti nyatanya.
Ust. H. Ahmad Sarwat, Lc.

Asal Mula | Sejarah Hari Valentine


Asal Mula | Sejarah Hari Valentine - Kali ini kita akan berbagi tentang asal mula atau sejarah sehingga dikatakan hari valentine day's dan apa sebenarnya arti valentine itu. Jadi, anda tidak asal ikut-ikutan merayakan hari valentine.

Valentine day's adalah hari yang sangat identik dengan dengan cinta, puisi-puisi romantis, yang sudah bergeser dari cinta sebenarnya. Mari kita lihat apa makna hari valentine itu.
Arti Valentine day's
Tanggal 14 februari merupakan hari perayaan terhadap dihukum matinya seorang pahlawan kristen yaitu: Santo Valentine, kejadian ini terjadi tepat pada tanggal 14 februari 270 M.

Valentine day's adalah sebuah dimana orang-orang yang sedang dilanda cinta, saling mengirimkan pesan cinta dan hadiah-hadiah antara satu sama lain, yaitu hari dimana santo valentine mati sebagai seorang pahlawan yang teguh mempertahankan keyakinannya.

Valentine yang biasa dikatakan itu adalah seorang utusan dari rhaetia dan dimuliakan di Passau sebagai uskup pertama.

Itulah makna dibalik nama valentine day's, sekarang mari kita lihat bagaimana sejarah asal mula hari valentine day's itu.
Asal Mula Sejarah Valentine Day's
Hari raya ini adalah salah satu hari raya bangsa Romawi Paganis (yang menyembah berhala), bangsa romawi telah menyembah berhala semenjak 17 abad silam. Jadi hari raya valentine ini adalah merupakan sebutan kepada kecintaan terhadap sesembahan mereka.

Tentang sejarah valentine ini ada banyak versi yang menyebutkan, tetapi dari sekian banyak versi menyimpulkan bahwa hari valentine tidak memiliki latar belakang yang jelas sama sekali.

Perayaan ini telah ada semenjak abad ke-4 SM, yang diadakan pada tanggal 15 februari, perayaan yang bertujuan untuk menghormati dewa yang bernama Lupercus, dewa kesuburan, yang dilambangkan setengah telanjang dan berpakaian kulit kambing. Acara ini berbentuk upacara dan di dalamnya diselingi penarikan undian untuk mencari pasangan. Dengan menarik gulungan kertas yang berisikan nama, para gadis mendapatkan pasangan. Kemudian mereka menikah untuk periode satu tahun, sesudah itu mereka bisa ditinggalkan begitu saja. Dan kalau sudah sendiri, mereka menulis namanya untuk dimasukkan ke kotak undian lagi pada upacara tahun berikutnya.

Sementara itu, pada 14 Februari 269 M meninggallah seorang pendeta kristen yang juga dikenal sebagai tabib (dokter) yang dermawan yang bernama Valentine.

Ia hidup di kerajaan yang saat itu dipimpin oleh Kaisar Claudius yang terkenal kejam. Ia sangat membenci kaisar tersebut. Claudius berambisi memiliki pasukan militer yang besar, ia ingin semua pria di kerajaannya bergabung di dalamya.

Namun sayangnya keinginan ini tidak didukung. Para pria enggan terlibat dalam peperangan. Karena mereka tidak ingin meninggalkan keluarga dan kekasih hatinya. Hal ini membuat Claudius marah, dia segera memerintahkan pejabatnya untuk melakukan sebuah ide gila.

Claudius berfikir bahwa jika pria tidak menikah, mereka akan senang hati bergabung dengan militer. Lalu Claudius melarang adanya pernikahan. Pasangan muda saat itu menganggap keputusan ini sangat tidak masuk akal. Karenanya St. Valentine menolak untuk melaksanakannya.

St. Valentine tetap melaksanakan tugasnya sebagai pendeta, yaitu menikahkan para pasangan yang tengah jatuh cinta meskipun secara rahasia. Aksi ini akhirnya diketahui oleh kaisar yang segera memberinya peringatan, namun ia tidak menggubris dan tetap memberkati pernikahan dalam sebuah kapel kecil yang hanya diterangi cahaya lilin.

Sampai pada suatu malam, ia tertangkap basah memberkati salah satu pasangan. Pasangan tersebut berhasil melarikan diri, namun malang St. Valentine tertangkap. Ia dijebloskan ke dalam penjara dan divonis hukuman mati dengan dipenggal kepalanya.

Sejak kematian Valentine (14 februari), kisahnya menyebar dan meluas, hingga tidak satu pelosok pun di daerah Roma yang tak mendengar kisah hidup dan kematiannya. Kakek dan nenek mendongengkan cerita Santo Valentine pada anak dan cucunya sampai pada tingkat pengkultusan.

Ketika agama Katolik mulai berkembang, para pemimipin gereja ingin turut andil dalam peran tersebut. Untuk mensiasatinya, mereka mencari tokoh baru sebagai pengganti Dewa Kasih Sayang, Lupercus. Akhirnya mereka menemukan pengganti Lupercus, yaitu Santo Valentine.

Di tahun 494 M, Paus Gelasius I mengubah upacara Lupercaria yang dilaksanakan setiap 15 Februari menjadi perayaan resmi pihak gereja. Dua tahun kemudian, sang Paus mengganti tanggal perayaan tersebut menjadi 14 Februari yang bertepatan dengan tanggal matinya Santo Valentine sebagai bentuk penghormatan dan pengkultusan kepada Santo Valentine. Dengan demikian perayaan Lupercaria sudah tidak ada lagi dan diganti dengan "Valentine Days"

Sisa-sisa kerangka yang digali dari makam Santo Hyppolytus dia Via Tibertinus dekat Roma, diidentifikasikan sebagai jenazah St. Valentinus. Kemudian ditaruh dalam sebuah peti emas dan dikirim ke gereja Whitefriar Street Carmelite Church di Dublin, Irlandia. Jenazah ini telah diberikan kepada mereka oleh Paus Gregorius XVI pada 1836.

Banyak wisatawan sekarang yang berziarah ke gereja ini pada hari Valentine, di mana peti emas diarak-arak dalam sebuah prosesi khusyuk dan dibawa ke sebuah altar tinggi. Pada hari itu sebuah misa khusus diadakan dan dipersembahkan kepada para muda-mudi dan mereka yang sedang menjalin hubungan cinta.

Hari raya ini dihapus dari kalender gerejawi pada tahun 1969 sebagai bagian dari sebuah usaha yang lebih luas untuk menghapus santo-santa yang asal-muasalnya bisa dipertanyakan dan hanya berbasis legenda saja. Namun pesta ini masih dirayakan pada paroki-paroki tertentu.

Sesuai perkembangannya, Hari Kasih Sayang tersebut menjadi semacam rutinitas ritual bagi kaum gereja untuk dirayakan. Agar tidak kelihatan formal, peringatan ini dibungkus dengan hiburan atau pesta-pesta.

0 komentar:

Dí lo que piensas...